Korupsi dan Nafsu Penjara Bagi Aparat Penegak Hukum

Kategori Berita

.

Korupsi dan Nafsu Penjara Bagi Aparat Penegak Hukum

Senin, 21 Oktober 2024
H. Abdul Muis SH, M.Si



Korupsi adalah musuh negara dan musuh bersama seluruh rakyat Indonesia. Aparat penegak hukum diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan menghukum pelaku korupsi. Para terduga atau keluarga terduga terkadang pesimis untuk mencari kebenaran dan keadilan bagi kasus yang dihadapi sehingga pasrah dan menerima begitu saja apapun yang disangkakan.


OLEH ABDUL MUIS,SH,M.Si


Dalam banyak kasus seorang terduga hanya bisa mengeluh dan mengeluh terhadap apa yang tengah dihadapinya. Sikap itu muncul selain karena pemahaman hukumnya minim, juga muncul ketakutan masalah hukumnya diperberat.


Padahal sejatinya sikap seperti itu tidak perlu dipelihara, karena Aparat Penegak Hukum juga manusia bisa keliru bahkan bisa salah dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum yang sebenarnya. Apalgi kalo ada APH yang memang memiliki nafsu untuk memenjarakan seseorang dengan motif-motif tertentu.


Kasus yang menimpa saudara kami mantan pejabat PPK Dikes Dompu AH 58 tahun yang ditahan Kejaksaan Negeri Dompu adalah salah satu potret penegakan hukum yang kami anggap dipaksakan. Apakah kami diam, atau hanya bisa mengeluh tentu tidak, kami akan melawan sebisa kami mampu dengan cara apapun termasuk menulis secara terus menerus terhadap apa yang kami anggap tidak adil.


Kasusnya dimulai dengan pembangunan Puskesmas Kota Dompu di tahun 2021, dimana AH ditunjuk sebagai PPK dan bertanggungjawab atas pelaksanaan proyek itu. Dalam pelaksanaanya proyek pembangunan Puskesmas Kota Dompu yang kini menjadi andalan dan pusat pelayanan bagi masyarakat kota biasa dan aman-saman saja.


Dalam perjalananya, proyek itu sampai pada pemeriksaan oleh satu-satunya lembaga yang diberi kepercayaan negara yakni BPK RI untuk mengaudit. Hasilnya ada kekurangan pekerjaan yang dilakukan oleh pelaksana proyek dengan nilai kerugian sekitar 47 juta.


Atas temuan itu pelaksana proyek yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini langsung menyelesaikan dan mengembalikannya ke negara.


Apakah itu sudah clear?, ternyata tidak, Kejaksaan Negeri Dompu dengan dalih ada laporan masyarakat mulai melakukan penelusuran dan penyelidikan. Selanjutnya apakah mereka tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa proyek itu pernah diperiksa dan diaudit BPK RI, tetapi yang pasti Kejaksaan bekerjasama dengan lembaga lain untuk mengaudit ulang proyek tersebut.


Hasilnya memang luar biasa berbeda dari audit BPK dengan kerugian negara Rp 47 juta dengan audit atas permintaan kejaksaan sebesar Rp 944 juta. Perbedaan yang sangat jauh ini tentu sangat dikeluhkan baik oleh AH maupun tersangka lain pelaksana proyek berinisial G.


Untuk menjernihkan ini kami mencoba mengambil beberapa rujukan terkait dengan siapa sih sebenarnya yang paling berwenang dalam memeriksa dan mengaudit kerugian negara sesuai dengan UU yang berlaku di negeri ini.


Pada prinsipnya kerugian keuangan negara harus pasti dan dihitung oleh pihak yang berwenang,  Kerugian Negara harus menggunakan tolak ukur yang benar-benar nyata dan aktual berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 025/PUU-XIV/2016 yang kaidah hukumnya menyatakan :


Kata “dapat” dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang – undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga suatu perbuatan yang dapat dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata dan aktual;


Adapun yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara diatur dalam pasal 32 UU Tipikor yang termuat dalam penjelasannya yaitu “ yang dimaksud “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”


Diatur lebih tegas yang berwenang menentukan keabsahan serta menyatakan adanya kerugian keuangan negara yaitu Pasal 10 ayat (1), ayat (2) undang-undang No. 15 tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan berbunyi :


(1)  BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.


(2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.


Diperkuat lagi oleh Mahkamah Agung RI dalam SEMA No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, yang pada pokoknya dalam Rumusan Hukum Kamar Pidana Poin 6 menyatakan yakni :


“Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan(BPKP) atau Inspektorat, Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai kerugian keuangan Negara dan besarnya kerugian Negara.”


Berdasarkan uraian di atas, Kerugian Keuangan Negara harus benar-benar nyata dan aktual tidak bisa dikira-kira apalagi menggunakan asumsi, serta harus disesuaikan dengan metode yang pasti dan seragam dalam penghitungannya. Sehingga jelas satu-satunya lembaga yang berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan walaupun lembaga lain seperti BPKP, Inspektorat dan/atau akuntan publik yang ditunjuk dapat menghitung kerugian keuangan Negara.


Penuangan fakta berikut aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh siapapun negeri ini, tidak semata-mata untuk mencari pembenaran dalam sebuah kasus, tetapi lebih untuk menghadirkan bahwa sesungguhnya penerapan kasus harus ditempatkan pada jalur yang sesungguhnya, tidak berdasar nafsu semata untuk menjebloskan seseorang kedalam penjara.


Kami percaya Menteri Kabinet Merah yang hari ini dilantik 21 Oktober 2024 oleh Presiden Prabowo Subianto adalah figur-figur terbaik untuk mengantarkan bangsa dan negara kearah yang lebih baik.


Kami pun percaya Menteri Koordinator Hukum dan HAM RI Prof Yusril Ihza Mahendra adalah ahli dan praktisi hukum yang sudah sangat mengerti tentang seluk beluk dunia peradilan di Indonesia. Begitu juga dengan Menteri Hukum DR Supratman Andi Agtas,SH,MH tentu sudah sangat mahfum dengan dunia peradilan kita.


Maka kepada merekalah untuk dicoba menyampaikan keluh kesah atas prilaku peradilan dan kepada jawara hukum inilah wajah hukum Indonesia diharapkan menjadi kekuatan baru bagi penegakan hukum yang seadil-adilnya serta berintegritas. (*)